Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Analisis Terhadap Pemikiran Ismail
Raji Al Faruqi)
Disusun Oleh
Kelompok 21
Nama
|
NPM
|
Muslim Al
Rasyid
|
1111010193
|
Widi Irawan
|
1111010239
|
Semester/
Jurusan/ Kelas
|
: PAI/ Dua/ D
|
Mata Kuliah
|
: Filsafat
Pendidikan
|
Dosen
|
: Dr. Jamal
Fakhri, M.Ag.
|
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 1433/ 2012
PENDAHULUAN
Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak
kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan munculnya
postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali kepada agama.
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha mencari solusi
dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al Faruqi. Al
Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya pertentangan
wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari aksi, serta
adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi berpendapat
diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid. Artinya
pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran
dan pengetahuan serta kesatuan hidup.
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik tajam
berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi sistem
filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya,
dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma
pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu
pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik untuk
mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses yang
dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih khusus mengenai
pemikiran-pemikiran yang telah disumbangkan oleh Ismail Raji Al Faruqi. Dari
riwayat kehidupannya, karya-karya intelektualnya, hingga pemikiran-pemikiran
yang telah membuat perubahan besar bagi umat islam dalam hal ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Pendidikan dan Karier
Isma’il Raji Al Faruqi atau yang lebih dikenal dengan nama Al
Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya
seorang qadi di terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al Faruqi.
Setelah menamatkan pendidikan madrasah di tempat kelahirannya, Al
Faruqi menempuh pendidikan di College Des Freres (St. Joseph) Lebanon,
mulai tahun 1926 sampai dengan tahun 1936. Pada tahun 1941, Al Faruqi
melanjutkan pendidikannya di Amirecan University of Beirut, di Beirut dengan
mengambil kajian Filsafat sampai meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Al
Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat
Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama empat tahun, kemudian
ia diangkat menjadi Gubernur Galilea. Jabatan Gubernur ini ternyata
Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina, karena sejak tahun 1947
propinsi yang dipimpin oleh Al Faruqi tersebut jatuh ke tangan kekuasaan
Israel. Keadaan ini membuat al Faruqi harus hijrah ke Amerika Serikat pada
tahun 1948.
Di Amerika, Al Faruqi mengeluti bidang akademis dan konsen pada
persoalan-persoalan keilmuan. Hal ini juga mendorong al Faruqi untuk
melanjutkan pendidikannya. Selain itu, kultur masyarakat Barat yang cenderung
tidak rasialis dan deskriminatif juga memberi peluang baginya untuk
mengembangkan potensi akademiknya, sehingga pada tahun 1949 al Faruqi berhasil
meraih gelar master (master of Art) dengan judul tesis On Justifying the
Good: Metaphysic and Epitemology of Value (tentang pembenaran kebaikan:
Metafisik dan epistimologi nilai). Gelar doctor diperolehnya di Indiana
University.
Saat studi di Harvad University, al Faruqi sempat bekerja sambil
kuliah untuk memenuhi problem keuangannya. Dengan modal US $ 1000,- hasil
menerjemahkan dua buku berbahasa Arab, al Faruqi kemudian berbisnis konstruksi.
Titel doktor tidak membuatnya lepas dahaga keilmuan, oleh karenanya
kemudian ia melanjutkan kajian keislamannya di jenjang pascasarjana di
Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Program ini dilalui selama tiga tahun.
Kemudian pada tahun 1964, dia kembali ke Amerika dan memulai kariernya sebagai
guru besar tamu (visiting professor) di University Chicago di School
of Devinity. Al Faruqi juga pernah tercatat sebagai staf pengajar di McGill
University, Montreal Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1961, ia pindah ke
Karachi, Pakistan selama dua tahun.
Karir akademik al Faruqi juga pernah dilalui di Universitas
Syracuse, New York, sebagai pengajar pada program pengkajian Islam. Tahun 1968,
al Faruqi pindah ke Temple University, Philadelpia. Di lembaga ini, ia
bertindak sebagai profesor agama dan di sinilah ia mendirikan Pusat Pengkajian
Islam. Selain menjadi guru besar di University Temle ini, ia juga
dipercaya sebagai guru besar studi keislaman di Central Institute of
Islamic Research, Karchi.
Tujuh Belas Ramadhan 1406/1986, Subuh dini hari menjelang sahur,
tiga orang tidak dikenal menyelinap ke dalam rumah suami istri Ismail Raji Al
Faruqi dan Lois Lamya di wilayah Cheletenham, Philadelpia. Dua guru besar
di Universitas Temple AS beserta dua anak mereka dibunuh dengan oleh tiga orang
tersebut, dan wafat seketika.
Sebagai anak Palestina, al
Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi
dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan
Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama
yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah
politik Zionisme.
Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang
keras terhadap kaum Zionis Yahudi.
B.
Karya-Karya
Intelektual
Dengan ketajaman analisis Al Faruqi, ia mampu menguasai berbagai
disiplin ilmu, seperi etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai
metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karyanya yang terakhir adalah The Culture Atlas of
Islam yang digarap bersama istrinya, Lamya. Buku ini menggambarkan tentang
peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan.
Dalam buku ini al Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi
kebanggaan. Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit Islam
sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang,
yaitu semangat Tauhid. Dalam buku ini juga, tanpa ragu al Faruqi menulis bahwa
intisari tamaddun (peradaban) Islam adalah Islam itu sendiri, dan intisari
Islam adalah tauhid.
Karya lain yang penting dan mungkin yang menghasilkan
tanggapan adalah bukunya yang berjudul Islamization of Knowledge: General
Principles and Work Plan. Dalam buku ini ia berusaha mensosialisasikan ide-ide
islamisasi pengetahuan, sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan
teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek islamisasi terhadap
ilmu pengetahuan di dunia muslim. Buku ini terdiri atas tujuh bagian pembahasan
dan dilengkapi dengan appendiks berupa beberapa agenda hasil
konferensi II tentang islamisasi pengetahuan di Islamabad, tahun 1982,
konferensi III dan IV tentang isu yang sama dilaksanakan di Kuala Lumpur tahun
1984 dan di Khortoum tahun 1987.
Karya yang lain, adalah Al Tawhid: Its Implication for Thought
and Life (1982) yang berisi 13 chapter. Karya ini menganalisis secara
tajam dan meyakinkan batapa tauhid dapat menjadi prinsip sejarah, prinsip ilmu
pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata sosial, prinsip
ummah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi, prinsip
tata dunia, prinsip estetika.
Menurut Abdurrahmansyah karya-karya al Faruqi tampaknya sangat kuat
berpondasi pada tauhid sebagai nilai esensial Islam, dan selalu menjadi ide
dasar analisisnya. Esensi tauhid menurut al Faruqi adalah potensi dasar
yang besar, yang mampu menggerakkan roda peradaban muslim ke arah yang paling
progresif, termasuk dalam mencermati pendidikan Islam.
Selama kehidupan profesionalnya yang hampir berlangsung 30 tahun,
dia menulis, menyunting, atau menerjemahkan 25 judul buku, mempublikasikan
lebih dari seratus artikel, menjadi guru besar tamu di lebih dari 23
universitas di Afrika, erpa, Timur Tengah, Asia Selatan dan Tenggara, dan duduk
dalam dewan redaksi di tujuh jurnal Besar.
C. Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Alasan yang melatarbelakangi perlunya islamisasi dalam pandangan al Faruqi
adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan
muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi
yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin
berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari
kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau
menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan
meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya
dipertahankan. Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan
telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah.
Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai
sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda
oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi.
Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan
umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan
dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.
Persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang
akademik. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat
westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum
muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di
lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu
yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan
karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam.
Gejala tersebut dirasakan al Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the
lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus
diperjuangkan sampai berhasil.
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil
positif bagi umat, namun al Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat
Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan
yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam
telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan
pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama. Dari
fenomena ini, al Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di
persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya,
umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman
dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi
penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Bahkan sudah mencapai tingkat
serius dan mengkhawatirkan yang disebutnya sebagai “malaisme”. Menurut al
Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” yang di hadapi umat Islam sebagai
bangsa-bangsa di anak tangga terbawah, mengakibatkan timbulnya dualisme dalam
sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat. Proses westernisasi pasca
penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Dan bisa dikatakan
hal itu telah menghancur-kan umat Islam dari ajaran al Qur’an dan Hadits.
Dengan adanya westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat diterima umat Islam
tanpa filter. Akibatnya umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused).
Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik
dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.
Dari situlah kemudian al Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk
menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme”
yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan
asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.
Jika melihat kedua alasan atau latar belakang perlunya islamisasi, maka
akan terlihat adanya pemikiran yaitu bahwa peradaban yang dibawa oleh Barat
adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomisme. Dan nilai ini
tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam islam yaitu tauhid.
Kemunduran ini menurut analisa al Faruqi melihatnya dari masalah internal
(tubuh umat Islam) itu sendiri.
D.
Analisa
Metodologi Islamisasi Pengetahuan
Memahami
wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting
sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta
mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan
ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.
Perjalanan
hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk
karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi
karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka
kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas
dan apresiatif terhadap agamanya.
Menurut Kafrawi Ridwan, penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat
dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang
bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak
pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana
al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai
orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat
filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di
Amerika yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan
memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasanirfani, untuk mengkonstruksi
bangunan epistimologi Islam.
Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan mendapat
tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa islamisasi ilmu
tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah menciptakan atau
menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan
positif. Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahakann ilmu yag
islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan posisinya
universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen, sains
Yahudi, sains Budha dan seterusnya.
Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain Sardar,
menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda dengan
sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu, namun
Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena mengandung
cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang mementingkan
relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern bisa membuat
terjebak dalam westernisasi Islam.
Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa ilmu Barat
sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti kerangka
(mode of thought) atau pandangan dunia (word view) Barat. Oleh karenanya
percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu pengetahuan Barat.
Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan membangun word
view Islam dengan titik pijak utama membangun epistimo-logi Islam. Hanya
dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang dibangun
atas prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu dilakukan
atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Jawaban
yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh
Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari pertanyaan ini,
selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan jawaban ya pada
sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada sebagain disiplin
ilmu (ilmu-ilmu pasti).
Dalam fokus islamizing curricula, dikotomisasi-dikotomisme
ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum harus dihilangkan.
Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud dimensi akal dan
wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi reason dan revelation
tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam ada-lah religion of nature. Alam
penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang menunjukkan kehadiran suatu sistem
global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains, maka dia akan
memperoleh wisdom berupa philosophic perennis yang dalam
filsafat Islam disebut transendence.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya Ismail Raji Al
Faruqi, atau yg sering disebut dengan nama al Faruqi adalah seorang tokoh
intelektual muslim yang dikenal mampu menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan seperti etika, seni, sosiologi, kebudayaan (antropologi), sampai
metafisika dan politik, termasuk juga wacana pendidikan.
Karya terakhir dari Ismail Raji al Faruqi adalah The Culture Atlas
of Islam yang digarap bersama istrinya, sebelum terjadi penyerangan di
rumahnya pada bulan Ramadhan tahun 1986 oleh tiga orang tak dikenal yang
menewaskan dirinya, istri dan kedua anaknya.
Latar belakang al Faruqi mengeluarkan gagasan tentang Islamisasi
Ilmu pengetahuan adalah mulai meruntuhnya nilai-nilai keislaman oleh umat islam
itu sendiri. Mereka telah terpengaruh westernalisasi, yang secara tidak
langsung akan menghancurkan aqidah mereka sebagai umat islam.
Banyak tanggapan mengenai gagasan al Faruqi ini. Seperti
Fazlurrahman yang mengatakan bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan ini tidak
diperlukan. Hal ini karena Ilmu bersifat Universal. Dengan demikian tidak ada
sains Islam, sains kristen ataupun sains Yahudi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Sani, 1998.Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern
dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Akbar S. Ahmed, 1996. Postmodernisme: Bahaya dan
Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan.
Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso,
2001. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/al-Faruqi-pemikir-besar-islam-dibunuh.htm diunduh 19
Maret 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ismail_Raji_Al-Faruqi diunduh 19 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar